INTINEWS.CO.ID, NASIONAL – Tentang Salam Lintas Agama MUI Serahkan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Perihal ini diketahui dari situs web https://www.mui.or.id/baca/berita/hasil-ijtima-ulama-diterima-panglima-tni-ketua-mui-jelaskan-isi-salam-lintas-agama, kutipannya sebagai berikut:
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Agus Subiyanto menerima Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII saat bersilaturahmi ke Kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2024).
Baca juga: Yang Halal Itu Sertifikasi HALAL Dari BPJPH Atau MUI
Berkas Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII tersebut diberikan secara langsung oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.

Pasca pertemuan tersebut, Prof Niam menjelaskan bahwa hal itu merupakan sub bahasan dari Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII tentang Panduan Hubungan Antarumat Beragama.
Prof Ni’am menegaskan, untuk menjamin toleransi yang hakiki, umat harus bisa mengenali ciri-ciri ajaran agama, mana yang domain ibadah, dan mana muamalah yang dimensinya adalah ibadah.
Dari kenalan tersebut, terangnya, diperlukan adanya panduan bagaimana membangun hubungan antar umat beragama. Untuk domain ibadah, yang dikedepankan adalah menghormati dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama tanpa harus mencampuradukkan.
Sementara dalam hal muamalah dan hubungan sosial, jelasnya yang dikedepankan adalah kerja sama, saling mendukung untuk terwujudnya kebersamaan dan keharmonisan.
Nah, salam dalam konteks Islam adalah hubungan sosial, ada yang bersifat khusus yang memiliki dimensi ibadah karena di dalamnya ada doa khusus. Sementara doa dalam Islam itu jenis ibadah. Redaksinya sudah tertentu, mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib. Sementara kalau salam umum yang tidak terkait dengan ajaran khusus, yaitu sebagai sarana membangun keharmonisan dan dianjurkan, paparnya.
Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan, dalam fatwa salam lintas agama ini memiliki dua dimensi yang harus diperhatikan. Dimensi yang pertama adalah muamalah.
Dalam muamalah, perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan untuk membeda-bedakan, memisah-misahkan, dan perbedaan agama tidak boleh menjadi faktor pembelah di antara Kita.
Maka, atas dasar prinsip ini, setiap kita siapa pun itu, meskipun agama yang berbeda diwajibkan untuk mewujudkan kerja sama atas dasar prinsip moderasi, toleransi, dan kerja sama/saling menguntungkan dengan mengedepankan harmoni dan kedamaian, tuturnya.
Prof Ni’am memberikan contoh, dalam konteks jual beli, tidak ada aturan harus seagama, dan bertetangga tidak ada membeda-bedakan karena agama.
Tetapi di sisi lain, ada dimensi ibadah keagamaan yang harus diperhatikan. Misalnya, sambungnya, dalam konteks pelaksanaan ibadah yang akan datang yakni Shalat Idul Adha 1445 H. Umat beragama lain tidak diperbolehkan mengikuti Shalat Idul Adha.
Menurutnya, apabila ada non-Muslim yang ikut Shalat Idul Adha merupakan bentuk toleransi yang dapat dibenarkan
“Bahwa kemudiaan masyarakat Muslim dan bahu non Muslim membahu menyiapkan tempat untuk penyembelihan kepentingan hewan kurban, itu adalah masalah muamalah yang diperbolehkan,” tegasnya.
Prof Niam menegaskan, masalah-masalah yang berdimensi agama berlaku ketentuan hukum sesuai Qs Al-Kafirun ayat ke-6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ Artinya: Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku.
Baca juga: Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie Menilai Gus Miftah Asbun Dan Gagal Paham
Prof Niam kembali menegaskan, salam yang bersifat Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh itu berdimensi keagamaan atau ibadah. Di dalam salam tersebut, ada doa, bahkan doa tersebut pun diajarkan oleh Rasulullah SAW dan dikaitkan dengan hukum.
“Hukumnya apa? Menjawab salam setiap Muslim hukumnya wajib. Artinya, disitu ada masalah keagamaan yang berdimensi ubudiyah,” paparnya.
Oleh karena itu, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini mengatakan, untuk salam yang bersifat khusus, makna toleransi itu masing-masing tidak perlu ada mencampuradukkan.
“Mencampuradukkan salam yang bersifat khas keagamaan sebagai bagian doa khusus, menjadi satu kesatuan. Bukan makna toleransi yang diperbolehkan dalam konteks keislaman,” tegasnya.
Menurutnya, hal itu yang harus dipahami oleh masyarakat terkait fatwa haram salam lintas agama.
Tetapi, salam yang bersifat umum, seperti mendoakan kesehatan ‘Salam sehat bos, mudah-mudahan terus sehat’ itu diperbolehkan.
“Apakah itu dilarang? Tidak. Karena itu bagian dari yang bersifat muamalah, ini yang perlu dipahami. Gak bisa juga disalahartikan, seolah-olah dengan keputusan ini dinilai Anti Pancasila, anti keberagaman, dan lain sebagainya,” tegasnya.
Prof Ni’am juga membantah ada yang beranggapan bahwa Indonesia sudah terbiasa dengan mengucapkan salam lintas agama. Prof Ni’am menegaskan, hal itu tidak sesuai dengan sejarah.
“Ini beberapa waktu lalu, kita bisa melihat, Bung Karno sebagai pendiri bangsa ini sekaligus proklamator, masih ada jejaknya salamnya bagaimana dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Prof Ni’am menekankan, hal inilah yang harus dipahami secara utuh, dan didudukkan secara proporsional. Bahkan, dalam Hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ditegaskan dalam sebuah item tersendiri bahwa haram haram mengejek-ngejek, mengolok-ngolok, dan menyampaikan ajaran ajaran agama lain.
“Sekalipun nadanya guyon. Misalnya beberapa waktu lalu ada guyonin sholat, guyonan zakat, guyonan tuhannya kristiani itu tidak diperbolehkan, dan itu berpotensi penodaan agama, siapapun pelakunya,” tegasnya.
(Redaksi/Ogi “Jhengghot”)