NASIONAL, PETI ES, UP DATE

Aspirasi Buruh Tolak RUU Omnibus Law

4 Views
www.intinews.co.id
Aksi Buruh Penolakan Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, (20/01). Foto dokumentasi INTINEWS.co.id

INTINEWS.CO.ID, NASIONAL Jakarta, Aksi Massa Ribuan Buruh antara lain Buruh dari Bekasi, Bogor, Karawang, Tangerang dan Jakarta. Aksi Buruh ini yang tergabung dalam KSPI (Konpederasi Serikat Pekerja Indonesia) menyuarakan aspirasinya di depan Gedung DPR RI, Senin, (20/01).

Terlihat dengan penuh semangat Ribuan Massa Buruh tersebut ‘long march’ berbaris panjang bergerak mulai dari parkir timur senayan jalan kaki menuju depan Gedung DPR RI. Di depan Gedung DPR RI, para Orator dari perwakilan Buruh pun bergantian Menyuarakan apa yang menjadi Aspirasi mereka.

Dengan meminta kepada Pak Presiden Joko Widodo dan Pemerintahan agar suara mereka tentang menolak 6 (enam) poin terhadap Rencana Undang-Undang (RUU) OMNIBUS LAW.

Baca juga: Menteri Perindustrian : Penerapan Upah Per Jam Pacu Investasi dan Lapangan Kerja

Iqbal, Presiden KSPI dan FSPMI cukup menjelaskan 6 hal-hal yang menjadi penolakan Para Buruh terhadap Rencana Undang-Undang Omnibus Law. Adapun 6 Hal yang menjadi poin penolakan dari para Buruh tersebut, sebagai berikut;

Poin Pertama:

Menghilangkan upah minimum dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

“Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja
yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Iqbal, Selasa
(7/1/2020).

Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan
ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

Baca juga: Targetkan Draf RUU Omnibus Law Selesai Minggu Ini

Kontroversi Upah Per Jam, ditolak Buruh, menurut Iqbal hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi Pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam. Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah seperti tampak diskriminasi
terhadap upah minimum.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan “tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum.”

“Jika itu dilakukan, sama saja bentuk dari kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari,” tegas Iqbal.

Poin Kedua:

Menghilangkan pesangon. Iqbal menyebut, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam Omnibus law, yaitu tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan
upah. Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.

Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja
maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon atau penghargaan masa kerja.

“Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, Buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih,” ujarnya.

Baca juga: 1.244 Pasal dan 79 UU Direvisi

Poin Ketiga:

Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan ‘outsourcing’ dan Buruh Kontrak diperluas dalam Omnibus Law, dikenalkan istilah ‘fleksibilitas pasar kerja’.

Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan Pengangkatan Karyawan Tetap (PKWTT).

“Jika di UU13/2003 ‘outsourcing’ hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan Buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan,” sebut Iqbal.

Poin Keempat: 

Lapangan pekerjaan yang tersedia akan berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak memiliki keahlian (Unskill). Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan  yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannyapun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki  pekerja lokal, seperti; akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional, dan dalam waktu tertentu, misalnya 3 –5 tahun, dia (TKA) harus kembali ke negaranya.

Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job  dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tersebut.

“Dalam Omnibus Law terdapat wacana semua persyaratan yang sudah diatur tersebut kemungkinan akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan
lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan
yang mestinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA,” ujar Iqbal.

Poin Kelima: 

Jaminan sosial terancam hilang. Menurutnya, jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat  jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.

“Dengan skema sebagaimana
tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya Jaminan Hari Tua dan jaminan pensiun,” ungkap Iqbal.

Poin Keenam: 

Menghilangkan Sanksi Pidana bagi pengusaha. Dalam Omnibus Law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam UU 13/2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang Tidak Membayar hak-hak buruh. Sebagai contoh, pengusaha
yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dikenakan penjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, kata Iqbal, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah
minimum.

“Dampak ke depannya nanti akan ada kemungkinan banyak hak-hak buruh yang tidak diberikan si pengusaha, karena tidak ada efek jera,” 

Ketua DPR RI menerima para Perwakilan Aksi, dan DPR RI membuka diri untuk diskusi perihal Undang-Undang OMNIBUS LAW tersebut. Para Buruh mengakhiri aksinya tersebut selesai sekitar pukul 15.00 WIB, dan dengan membubarkan diri secara damai.

(Redaksi).

Loading

Tinggalkan Balasan