PENGETAHUAN

Pedagang Kain Belacu di Tanah Jambi Abad 17

INTINEWS.CO.ID, PENDIDIKAN&IPTEKPedagang-pedagang Nusantara lebih tertarik pada kain blacu (belacu). Fakta itu membuat Inggris segera membuat pabrik-pabrik tekstil kelas rendah di beberapa tempat di India.
Pedagang Kain Belacu di Tanah Jambi Abad 17Aktivitas Pelabuhan di Tepian Sungai Batanghari. Foto: Kemdikbud.

Tujuan utama menyambut pelaut-pedagang Inggris di Hindia Timur (Nusantara sekarang) pada awal abad 17 adalah berdagang rempah-rempah yang sangat tinggi nilainya. Namun begitu sampai di Sumatra, di sekitar muara Sungai Batanghari, mereka sadar sebagai barang-barang dagangan mereka sepi peminat. Berbagai macam kain berbahan wol, yang menjadi andalan mereka tidak diminati oleh pedagang-pedagang lokal.

Pedagang-pedagang Nusantara yang punya banyak stok rempah-rempah lebih tertarik pada produk-produk yang dibawa dari Gujarat seperti kain blacu (belacu) dan garam cina (kalium nitrat). Harga jualnya sangat menguntungkan.

Fakta inilah yang membuat Inggris melalui kantor perdagangannya, EIC, segera membuat pabrik-pabrik tekstil kelas bawah di beberapa tempat di India. Mereka kemudian membuat kantor dagang di Surat dan Pantai Coromandel untuk menyediakan barter produk kegemaran orang Nusantara dengan rempah-rempah yang mereka butuhkan.

Kendala Yang Dihadapi

Fiona Kerlogue adalah antropolog dari Universitas Hull yang mengambil objek penelitian di seluruh kain tradisional Nusantara. Hasil penelitiannya mencakup batik, tenun, ikat, hingga songket. Kajiannya tentang masalah yang terjadi di zaman kolonialisme sedikit yang ikut menjelaskan banyak hal tentang perkembangan manusia-manusia dan masyarakat penghuni kepulauan Nusantara.

Sejarah Inggris untuk meningkatkan kapasitas produk di awal abad ke-17 ditulis Fione Kerlogue dalam Jurnal Sejarah Tekstil , nomor 28 tahun 1997. Perusahaan India Timur, perusahaan dagang Inggris di Asia Tenggara pada awal-awal, berdirinya banyak menemukan berbagai macam perjanjian. Yang paling utama adalah kurang modal.

Kendala berikutnya adalah perdagangan yang diselesaikan setelah merebaknya wabah sampar beberapa waktu sebelumnya. Sama seperti VOC, perusahaan dagang Inggris juga menyelesaikan masalah korupsi yang akut. Banyak pedagang dan bangun kapal Inggris yang hanya mementingkan kekayaan diri sendiri tidak mementingkan perusahaan.

Lebih mendorong lagi adalah peran raja-raja lokal. Bagi Inggris, penguasa-penguasa lokal di Nusantara sangat lihai berdagang. Gabungan antara kemampuan bajak laut dan jaringan kekuasaan yang sangat luas, mereka bisa mengeksploitasi pasar, yang saat ini masih lemah.

Masalah lebih parah lagi adalah kualitas kain yang mereka bawa. Karena produksi di India didasarkan pada standar industri rumahan, kain-kain blacu dan kualitas mereka tidak setara. Seringkali besar dan ukurannya tidak sama. Warna berbeda kualitasnya satu sama lain. Kehalusan kain yang mereka buat juga tidak sesuai standar pasar yang berlaku.

Jarak, pengangkutan, waktu tempuh, gudang hinggga, adalah berikutnya yang sangat klasik di wilayah seperti nusantara. Iklim tropis yang rentan terhadap penyakit, rayap, cacing, dan jamur juga mempercepat kerapuhan produk.

Tak Kuasa Menagih

Bulan September 1615, kapal yang bernama Petugas mendarat di sekitar Jambi di wilayah timur Pantai Sumatra. Kapal ini datang untuk mencari sumber lada dan emas. Kapal ini juga membawa banyak stok tekstil buatan India yang memang banyak permintaannya.

Enam puluh tujuh tahun kemudian, pada 1682, Inggris memulihkan mengangkat kaki dari sana. Pabrik milik mereka dibakar habis. Modal mereka habis diutangkan pada raja lokal. Untuk menagih, mereka tak berkuasa. Utang itupun tak pernah dibayar.

Kota Jambi pada zaman itu adalah Pelabuhan Sungai Batanghari. Posisinya sangat strategis karena menjadi partisipasi antara India dan Cina. Menurut catatan dinasti Tang, sekitar abad ke-7 dan abad ke-9 perwira dari Jambi telah mengunjungi ke sana. Catatan itu menjawab Jambi sebagai ibu kota Kerajaan Melayu. Catatan berikutnya pada abad ke-11, menurut beberapa versi, pelabuhan yang diberikan sebagai Ibu Kota Sriwijaya.

Catatan Chau Ju-Kua, petugas pelabuhan Cina, mengatakan pada abad ke-13 Jambi sangat aktif sebagai pelabuhan ekspor tekstil. Yang dibarter dengan kain penting adalah berbagai macam getah pohon yang bisa dipakai untuk banyak hal. Selain itu, dikirim juga komoditi seperti cengkeh, kulit kura-kura, hingga kapulaga. Saudagar Arab biasa membawa serat katun dan pedang. Sementara itu saudagar Cina membawa kain sutera dan serat emas yang biasa ditenun menjadi songket.

Songket Jambi sudah sedari sudah dikenal dunia. Kecuali warna kosmopolitan, perdagangan internasional adalah warna kultural yang paling menonjol. Kebutuhan akan kain impor sangat tinggi. Kain-kain berhias asal Gujarat, kemudian ikat tenun sutera, dan kain katun batik cap Coromandel adalah bagian dari seragam pejabat-pejabat kerajaan.

Lebih banyak produk-produk yang dikeluarkan diolah menjadi barang-barang yang dibutuhkan rakyat. Adat Melayunya adalah “Serah Turun Jajah Naik”. Kerajaan memberikan rakyat peralatan kerja dan bertani, seperti parang, pisau, pacul, celurit, arang kayu, katun bakalan, kain biru, dan garam. Sebagai balasannya rakyat lewat beras, berbagai getah pohon, emas, gading, tanduk badak, jerenang (buah rotan), dan rotan.

Catatan sejarah menunjukkan, Jambi sudah berdagang dengan India sejak abad ke-7, bahkan sebelumnya. Namun, menyambut agama Islam adalah penggerak kebutuhan tekstil yang luar biasa.

Pedagang Gujarat adalah pedagang campuran yang menyambungkan Pantai Timur Afrika, Yaman, hingga Mesir. Kain Ikat “Patola” adalah jejak mereka. Di banyak budaya, Nusantara mendukung ikat ini memiliki tuah yang sakti. Beberapa kain penting adalah palampor atau seprei tempat tidur. Di Karo, kain seprei ini dibuat hiasan dinding untuk upacara adat.

Kecuali jejak Islam di Jambi yang paling populer diambil sejak abad ke-15. Legenda setempat menggambarkan seorang pangeran dari Turki yang terdampar di Pantai Jambi dan menikahi ratu lokal. Putra mereka berjuluk Orang Kayo Hitam, dia terkenal sebagai pangeran yang mengusir penyerangan orang Jawa.

Komoditas paling penting Jambi adalah lada. Namun lada melepaskan tanaman asli Sumatra. Pelancong dari India, di masa-masa perguruan Nalandalah yang diharapkan yang diundang. Sementara yang piawai membudidayakan lada adalah petani-petani dari Cina dan anak-anak turunan mereka yang melegenda.

Ditukar Lada

Catatan disetujui Inggris yang pertama kali diakui oleh antara 1610-1611. Dokumen perjalanan itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Dokumen tersebut menjelaskan tempat-tempat yang dikunjungi dari Amboina, Banda, kemudian Jambi dan Pantai Barat Coromandel. Dianggapkan, Sumatra adalah tempat lada.

Jambi adalah sumber utama lada. Didatangkan dari dataran tinggi di barat (Minangkabau), dibawa menyusuri perahu melalui Sungai Batanghari untuk dibarter dengan Inggris dan Belanda. Catatan Thomas Elkington, pada 1615, mengutip kapal asisten berlayar untuk mencari sisi timur Sumatra, Jambi. Tempat mana saja yang tersedia dan tersedia emas. John Jourdain, bangun kapal, menulis itu dipertukarkan adalah kain-kain dari Gujarat.

Berhasil dari Belanda tetapi Inggris berhasil membuat pabrik mereka bisa menyimpan kain-kain yang berharga dan mengolah hasil bumi lada. Persaingan antara Belanda dan Inggris memang terjadi. Demi, memperebutkan dominasi komoditas lada. Namun dalam perjalanannya, dua kolonialis ini lebih banyak bersekutu dibandingkan berseteru.

@Sumber berita, https://indonesia.go.id/ragam/komoditas/ekonomi/pedagang-kain-belacu-di-tanah-jambi-abad-17

(Redaksi).

Loading

Tinggalkan Balasan