PENGETAHUAN, UP DATE

Tenaga Kerja Harus Mengetahui Ini

7 Views

INTINEWS.CO.ID, PENGETAHUAN Meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dengan adanya landasan yang kokoh bagi dunia usaha untuk perkembangan perekonomian globalisasi pada Perseroan Terbatas, sehingga terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sebagai Tenaga Kerja Harus Mengetahui ini.

Tenaga Kerja Harus Mengetahui Ini. Ilustrasi dok https://intinews.co.id
Tenaga Kerja Harus Mengetahui Ini. Ilustrasi dokumentasi https://intinews.co.id

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas. Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Adapun Organ Perseroan adalah:

  1. Rapat Umum Pemegang Saham,
  2. Direksi,
  3. Dewan Komisaris.

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya di sebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.

Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Baca juga: Upaya Novieta Lucia Tidajoh Karyawati Perusahaan Swasta Mencari Kebenaran Hukum Kepada Bapak Presiden Joko Widodo, Bapak Kapolri dan Bapak Jaksa Agung RI

Perlu diketahui bahwa setiap Perseoran Terbatas mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan, adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Dan setiap perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan jasa dan/atau barang baik nasional maupun multinasional dalam menjalankan manajemen dan operasionalnya sehari-hari yang berkaitan dengan ketenagakerjaan harus mempunyai suatu peraturan perusahaan (Tertulis) yang berlaku dan dipatuhi oleh seluruh karyawan agar dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian peraturan perusahaan berdasarkan Pasal 1 angka 20, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah peraturan yang di buat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan di susun oleh pengusaha dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Penyusunan peraturan perusahaan dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Peraturan perusahaan bertujuan untuk:

  • Menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja, serta antara kewenangan dan kewajiban pengusaha.
  • Memberikan pedoman bagi pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan tugas kewajibannya masing-masing.
  • Menciptakan hubungan kerja harmonis, aman dan dinamis antara pekerja dan pengusaha dalam usaha bersama memajukan dan menjamin kelangsungan perusahaan.
  • Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Menurut Pasal 111 UU Ketenegakerjaan, peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

  1. Hak dan kewajiban pengusaha
  2. Hak dan kewajiban pekerja/buruh
  3. Syarat kerja
  4. Tata tertib perusahaan
  5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan

Pengusaha yang mempekerjakan paling sedikit 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh wajib membuat peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah mendapat pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang di tunjuk (Dinas Ketenagakerjaan Pemerintahan Provinsi/Pemerintahan Kota/Pemrintahan Kabupaten). Peraturan perusahaan berlaku untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun serta wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

Peraturan perusahaan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan di terima harus sudah mendapat pengesahan oleh Menteri atau pejabat yang di tunjuk tersebut, namun apabila:

  • Peraturan perusahaan telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja belum mendapatkan pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang di tunjuk maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
  • Peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, maka Menteri atau pejabat yang di tunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan di terima oleh pengusaha, Pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki tersebut kepada Menteri atau pejabat yang di tunjuk itu.

Pasal 113 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. Hasil perubahan peraturan perusahaan harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang di tunjuk.

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan, serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahan peraturan perusahaan kepada pekerja/buruh.

Pasal 188 UU Ketenagakerjaan mengatur ketentuan sanksi pidana dan berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atas pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengenai jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Dan atas pelanggaran Pasal 114 UU Ketenagakerjaan tentang kewajiban pengusaha untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan serta memberikan naskah peraturan perusahaan kepada pekerja/buruh.

Bagaimana dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Omnibus Law Cipta Kerja”) dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

Dalam ketentuan mengenai perizinan berusaha di atur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2021.

Baca jugaDugaan Korupsi Periksa Saksi 20 Orang Kantor Pusat BPJS Ketenagakerjaan Jakarta

Terdapat beberapa perbedaan dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, diantaranya seperti: Pelatihan kerja, Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Penempatan tenaga kerja, Alih daya (outosurcing). Waktu kerja, Waktu istirahat dan cuti, upah, PHK, Penggunaan tenaga kerja asing (TKA), Sanksi pidana dan administratif.

Berikut ini perbedaan aturan yang ada di Undang-Undang Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja:

No Topik Undang-Undang Ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja
1 Waktu Istirahat dan Cuti
Istirahat  Mingguan Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK) menyebutkan:
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Aturan 5 hari kerja itu dihapus. Sehingga berbunyi:
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Istirahat Panjang Pasal 79 Ayat 2.d  UUK menyatakan:
Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Menyerahkan regulasi terkait hak cuti panjang kepada perusahaan.

Tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati.

Cuti Haid Pasal 81 UUK mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada  saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid Tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. RUU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya di atur dalam UU Ketenagakerjaan.
Cuti hamil-melahirkan  Pasal 82 UUK mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran Tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.
Hak untuk Menyusui  Pasal 83 UUK mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.
Cuti Menjalankan Ibadah Keagamaan Pasal 80 UUK menyatakan:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.
2 Upah
Upah satuan hasil dan waktu Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Adanya upah satuan hasil dan waktu.
Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.
Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Upah minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap wilayah  diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik  di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya. Meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Bonus Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Memberikan bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih.
Perbedaan Rumus menghitung upah minimum Rumus yang dipakai adalah UMt+{UMt, x (INFLASIt + % ∆ PDBt )}

Keterangan :
UMn : Upah minimum yang ditetapkan
UMt : Upah minimum tahun berjalan
Inflasit : Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan
∆ PDBt : Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihitung dari pertumbuhan PDB yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan

Rumus yang dipakai adalah UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt)

Keterangan :
UMt : Upah minimum tahun berjalan
PEt : Pertumbuhan ekonomi tahunan
Tidak ada ada inflasi, tapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

3 Pesangon
Uang Penggantian Hak Diatur dalam pasal 156 (4) UUK Tidak adanya uang penggantian hak
Uang Penghargaan Masa Kerja Diatur dalam pasal 156 (3) UUK Uang penghargaan masa kerja 24 tahun dihapus. RUU Cipta Kerja menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 terkait uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih dimana seharusnya pekerja/buruh menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah.
Uang pesangon  Pasal 161 UUK menyebutkan :
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.Pasal 163  (1) UUK menyebutkan :
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).Pasal 164 dan 165 UUK mengatur mengenai pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit berhak mendapat pesangon.Pasal 166 UUK mengatur hak keluarga buruh atau pekerja. Bila buruh atau pekerja meninggal dunia, pengusaha harus memberikan uang kepada ahli waris.

Pasal 167 UUK mengatur mengenai pesangon untuk pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal,  sebab hal ini sudah dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

• Menghapuskan  uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit. Pemerintah telah menghapus UU Ketenagakerjaan pasal 164 dan 165 di dalam RUU Cipta Kerja. Jadi nantinya pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon.

• Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal. Draft RUU Cipta Kerja juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan.

• Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapus pasal 167 UUK yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.

4 Jaminan Sosial
Jaminan Pensiun Pasal 167 ayat (5) UUK menyatakan:
Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.

Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)”

Jaminan Kehilangan Pekerjaan Tidak diatur dalam UUK sebelumnya Menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang di kelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial
5 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Alasan perusahaan boleh melakukan PHK Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada  9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK seperti:
• Perusahaan bangkrut
• Perusahaan tutup karena merugi
• Perubahan status perusahaan
• pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
• pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
• pekerja/buruh memasuki usia pensiun
• pekerja/buruh mengundurkan diri
• pekerja/buruh meninggal dunia
• pekerja/buruh mangkir
RUU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, diantaranya meliputi:
• Perusahaan melakukan efisiensi
• Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
• Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
• Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
• Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
6 Status Kerja Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Menghapus pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
7 Jam Kerja Waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
8 Outsourcing Aturan UU penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. Membuka lembaga outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.

Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.

9 Tenaga Kerja Asing Pasal 42 ayat 1 UUK menyatakan:
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Izin tertulis TKA di ganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA
Pasal 43 ayat 1 Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan.
Ppasal 44 ayat 1; Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA di hapus.

Khusus perihal sanksi pidana dan administratif, misalnya, UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana berupa penjara 1 sampai 4 tahun atau denda Rp10 juta sampai Rp400 juta dikenakan terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan terkait mogok kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan tidak boleh perusahaan melarang pekerja mogok kerja, tapi pada UU Cipta Kerja ketentuan pidana itu di hapus.

Semoga bermanfaat.

@Sumber referensi dari literatur net.

(Redkasi)

Loading

Tinggalkan Balasan