Ilustrasi dokumentasi https://intinews.co.id

INTINEWS.CO.ID, PENGETAHUAN – Zulkifli Lubis, lahir di Banda Aceh, 26 Desember 1923 dan meninggal di Jakarta, 23 Juni 1993 (Umur 69 tahun) yang karir militernya pernah menjadi Pejabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat/KASAD, periode 8 Mei 1955-26 Juni 1955, namun tak bersinar sampai akhirnya. Dia di kenal sebagai “Pendiri dan Ketua Badan Intelijen” yang pertama di Indonesia. Zulkifli Lubis di anggap sebagai “peletak dasar Institusi intelijen Indonesia”, sehingga dinobatkan sebagai “Bapak Intelijen Indonesia”.

Nama Bapaknya, Aden Lubis gelar Sutan Darialam berkerja sebagai guru di sekolah guru “Normaalschool” dan Nama ibunya, Siti Rewan Nasution yang juga bekerja sebagai guru di sekolah tersebut, Ia anak kelima dari 10 bersaudara.

Awal pendidikan Zulkifli Lubis di “Hollandsch Inlansche School” (HIS), lalu dilanjutkan ke “Meer Uitgebreid Lager Onderwijs” (MULO). disini Ia bergabung kelompok ‘Patriot’. Zulkifli Lubis selesai dari MULO melanjutkan ke “Algemeene Middlebare School B” (AMS B) di Yogyakarta.

Baca juga: Apakah Yakin Jaksa Jadi SDM Unggul Dengan Ubah UU Nomor 16 Tahun 2004

Pada masa pendudukan Jepang, Zulkifli Lubis di ajak temannya ikut latihan dari Tentara Jepang untuk para pemuda. Setelah dapat latihan di “Seinen Kurensho” (Pusat latihan untuk barisan pemuda) Dia diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Perwira Militer di “Seinen Dojo” (Balai penggemblengan pemuda) di Tangerang, dan disinilah Dia pertama kalinya diperkenalkan intelijen, lalu dipindahkan ke ‘resentai” (korps latihan) di Bogor. Pada bulan Desember 1943, para “shodancho” itu di lantik dan dipulangkan ke kota asal /daerah masing-masing untuk dibentuknya “daidan” (Batalyon).

Berpangkat Letnan Dua Zulkifli Lubis dilibatkan dalam sebuah staf khusus di bentuk secara resmi yaitu “Boei Giyugun Shidobu” dengan tugas tentang urusan semua yang menyangkut Pembela Tanah Air (PETA).

Pada pertengahan tahun 1944, Zulikfli Lubis di ajak oleh Rokugawa (bekas komandan Seinen Dojo) ke Malaysia dan Singapura, lalu diperkenalkan dengan Mayor Ogi (Perwira intelejen Jepang) yang tinggal satu kamar dengan Dia. Di Singapura inilah “Fujiwara Kikan” (Sebuah badan rahasia Jepang untuk Asia Tenggara). Rokugawa banyak mengajari Zulkifli dunia intelijen yang lebih mendalam. Setelah belajar intelijen di luar negeri, Zulkifli kembali ke tanah air dan melibatkan diri dalam rencana Jepang untuk membentuk kelompok-kelompok intelijen di berbagai tempat di Jawa sebagai pasukan gerilya untuk menghadapi pasukan Sekutu. Setelah Jepang menyerah, Kelompok intelijen yang diorganisir oleh Zulkifli Lubis menghadapi Sekutu yang mendarat.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Zulkifli Lubis dipercayakan sebagai pimpinan pusat Badan Keamanan Rakyat (BKR) Ketuanya Kaprawi yang di bantu Sutalaksana (Ketua I), Latief Hendraningrat (Ketua II), Arifin Abdurrachman dan Machmud. Disinilah Zulkfli Lubis bentuk Badan Intelijen yang di beri nama “Badan Istimewa” (BI), September 1945, dengan merekrut sekitar 40 orang bekas “Giyugun” dari seluruh Jawa. Zulkifli Lubis juga membentuk Penyelidikan Militer Chusus (PMC) pada akhir tahun 1945. PMC bertanggung jawab langsung kepada Presiden Ir. Soekarno. Pada bulan April 1946, cabang PMC di Purwakarta mendapat reaksi yang sengit dari pihak tentara, karena di anggap melakukan serangkaian penangkapan dan penyitaan yang semena-mena, dan di berbagai daerah lain juga sehingga PMC dibubarkan oleh Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 3 Mei 1946.

Kemudian beberapa bulan berikutnya, Zulkifli di tuding terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, dan Zulkifli Lubis dapat pemberian grasi Presiden Ir. Soekarno atas keterlibatannya dalam “Peristiwa 3 Juli 1946″Peristiwa 3 Juli 1946, adalah suatu percobaan perebutan kekuasaan/kudeta oleh “Kelompok Persatuan Perjuangan” terhadap pemerintahan Kabinet Sjahrir II, pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan Kelompok tersebut terhadap politik diplomasi yang dilakukan terhadap Belanda, Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh Nusantara, sedangkan Kabinet Sjahrir II hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura. Pada 23 Maret 1946, tokoh-tokoh kelompok Persatuan Perjuangan, diantaranya Tan Malaka, Achmad Soebardjo, dan Sukarni di tangkap, dengan tudingan bahwa kelompok ini berencana sebagai menculik anggota-anggota kabinet, dan pada tanggal 27 Maret 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa bagian kabinet di culik oleh orang-orang yang tidak di kenal. Pada tanggal 28 Juni 1946, Presiden Soekarno menyatakan kondisi bahaya di Indonesia. Keesokan harinya, seluruh kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali ke Presiden Republik Indonesia. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa kemudiannya berhasil, karena beberapa hari setelah itu seluruh korban penculikan di lepas kembali.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral R.P. Sudarsono, pelaku utama penculikan itu yang sehaluan dengan “Kelompok Persatuan Perjuangan“, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat (tuntutan) untuk ditandatangani Presiden. Presiden Ir. Soekarno tidak menerima maklumat tersebut, dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat, dan Empat belas orang yang di duga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang di beri keleluasaan, lima orang di hukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan R.P. Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara. Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 di beri keleluasaan melalui pemberian grasi Presiden.

Baca juga: Kejati Kepri Kepada Huzrin Hood, Hal Dugaan Tindak Pidana Korupsi

Zulkifli Lubis kemudian mendapat kepercayaan membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) dan menjadi Ketuanya, dan merekut anggota Brani dari sebagian besar pelajar, bekas “Seinen Dojo” maupun “Yugeki”, diantaranya Bambang Supeno, Kusno Wiwoho, Dirgo, Sakri, Suparto dan Tjokropranolo, Pada 7 Mei 1946, para perwira intelijen itu diberikan kartu pengenal dan resmi menjadi anggota BRANI. Zulkfli Lubis menjadi Kepalanya dan langsung bertanggung jawab di bawah kendali Presiden Ir. Soekarno. Anggota-anggota BRANI banyak berperan sebagai intelijen tempur. beberapa Perwira juga ditugaskan ke Singapura, Hong Kong, Thailand, dan Burma (Myanmar) untuk membuka jalur logistik yang dibutuhkan Indonesia seperti senjata dan obat-obatan. BRANI dibubarkan pada 31 April 1947 karena Amir Sjarifuddin, Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri itu lobi Soekarno agar fungsi intelijen tidak lagi berada di bawah naungan militer, tetapi sipil. BRANI pun di lebur ke dalam badan bernama “Bagian V” bersama Badan Pertahanan B yang langsung di bawah Kementerian Pertahanan. Namun, Bagian V lebih banyak dipengaruhi unsur politis dan di isi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dibubarkan pada awal 1948 bersamaan dengan jatuhnya Amir Sjarifuddin dari jabatan Menteri Pertahanan, akhir November 1948, Amir di tangkap dan dieksekusi karena terlibat Pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Keterlibatan Zulkifli Lubis juga di tuding turut “Perstiwa Cikini” pada tanggal 30 November 1957, Sebuah peristiwa yang di mana pada saat itu, Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno hampir menjadi korban dalam rencana upaya pembunuhan. Percobaan pembunuhan menggunakan granat tersebut tepatnya terjadi di Perguruan Cikini (Percik), Jalan Cikini Nomor 76, Jakarta Pusat, tempat di mana putra-putri Soekarno bersekolah. Muncul tuduhan bahwa Kolonel Zulkifli Lubis, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat dan tokoh intelijen yang dijuluki Bapak Intelijen Indonesia adalah otak dari tragedi Cikini tersebut. Namun banyak pihak yang menyangsikan hal ini, sehingga Zulkifli pun lolos dari tuduhan tersebut. Para aparat dan intelijen negara lantas berhasil menangkap 4 (empat) pemuda sebagai pelaku aksi teror tersebut, yaitu:

  1. Jusuf Ismail
  2. Sa’idon bin Muhammad
  3. Tasrif bin Husein
  4. Moh Tasin bin Abubakar

Keempatnya adalah penghuni Asrama Sumbawa di kawasan Cikini dan juga merupakan anggota pemberontak Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII), dan dari penangkapan para terdakwa peristiwa itu akhirnya mengakui bahwa otak sebenarnya di balik tragedi Cikini adalah Jusuf Ismail. Keempatnya lalu dijatuhi hukuman mati di hadapan regu tembak pada 28 Mei 1960.

Pada awal 1952, Zulkifli Lubis berusaha membentuk kembali badan intelijen setelah sejak tahun 1948 Indonesia tidak memilikinya, organisasi Intelijen kembali berubah namanya menjadi “Intelijen Kementerian Pertahanan” (IKP) dan Zulkifli Lubis sebagai Kepalanya. Lalu Zulkifli Lubis membentuk “Biro Informasi Staf Angkatan Perang” (BISAP) yang bertugas menyiapkan informasi strategis untuk Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Perang, T.B Simatupang. Akibat peristiwa 17 Oktober 1952 BISAP dan Pendidikan Intelijen dibubarkan T.B Simatupang, permintaan Zulkifli Lubis kepada T.B Simatupang agar tidak memburkannya tidak di gubris.

Zulkifli Lubis juga terlibat (bergabung) dengan pergerakan pemberontakan yang dapat dukungan intelijen Amerika Serikat (CIA), di Sumatera dan Sulawesi, berperan dalam pembentukan gerakan separatis ini, “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta” (PRRI-Permesta) pada awal 1958. yang juga di isi sejumlah perwira lainnya seperti Ahmad Husein, Simbolon, dan Ventje Sumual. Saat pemerintah dan golongan pemberontak ini berdamai, Zulkifli Lubis bersama perwira lainnya kembali ke Jakarta pada 1961 dan di penjara, pada akhir 1965 ia dibebaskan (orde baru) dan mendapat tawaran kedudukan di Operasi Khusus, unit dari Komando Intelijen Negara, organisasi spionase sebagai Ketuanya Ali Moertopo,

Pada 5 Desember 1958, Presiden Soekarno membentuk “Badan Koordinasi Intelijen” (BKI) dan di pimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi sebagai Kepala. Selanjutnya, pada 10 November 1959, BKI menjadi “Badan Pusat Intelijen” (BPI) yang bermarkas di Jalan Madiun, yang dikepalai oleh DR Soebandrio. Pada peristiwa G30S/PKI tahun 1965, Soeharto mengepalai Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), di seluruh daerah (Komando Daerah Militer/Kodam) di bentuk Satuan Tugas Intelijen (STI) pada tanggal 22 Agustus 1966.

Lalu, Soeharto mendirikan “Komando Intelijen Negara” (KIN) yang dipimpin oleh Brigjen Yoga Sugoma sebagai Kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Soeharto. Sebagai lembaga Intelijen strategis, maka BPI di lebur ke dalam KIN yang juga memiliki Operasi Khusus (Opsu) di bawah Letkol Ali Moertopo dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto. Kurang dari setahun, 22 Mei 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mendesain KIN menjadi “Badan Koordinasi Intelijen Negara” (BAKIN). Mayjen Soedirgo menjadi Kepala BAKIN yang pertama.

Pada Tahun 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid mengubah nama BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menjadi BIN sampai sekarang ini.

Presiden Ir. Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Dalam Perpres itu, Kemenkopolhukam tidak lagi mengkoordinasikan Badan Intelijen Negara (BIN). Pada Pasal 4 perpres itu menjelaskan bahwa Kemenkopolhukam hanya mengoordinasikan beberapa Kementerian dan Institusi Pertahanan dan Keamanan, berbeda dengan peraturan sebelumnya, Perpres Nomor 43 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa Kemenkopolhukam mengkoordinasi BIN.

@Sumber berita, referensi literatur berbagai situs web

(Redakssi)