“Orang yang paling bijak dan berbahagia adalah orang yang mengakui bahwa ia tidak mengetahui apapun”, (Socrates).
-KEHIDUPAN-
Ada kalanya manusia harus jatuh atau di hempas, agar kesadarannya timbul untuk merasakan nikmatnya berdiri diatas tanah.
Sifat kecenderungan lupa diri dan melupakan orang lain merupakan kebodohan yang perlu di ingat kan melalui sandungan kecil bila perlu dengan menghempaskan’nya secara keji, agar tidak tidak menimbulkan masalah bagi manusia lainnya.
Manusia bukan mahluk sempurna tetapi ketika ia ingin menyempurnakan hidupnya banyak hal yang menjadi catatan seakan manusia tersebut adalah “ilahi” di bumi atas kekuasaan yang di milikinya.
Dengan alasan untuk mencari kebahagiaan ataupun membahagiakan orang lain akan terus menjadi simbol perjuangan untuk merebut kekuasaan strategis demi melanggengkan ambisi.
Seandainya Sang Ilahi tidak membiarkan kebohongan demi kebohongan terlahir terus, mungkin setan tidak akan memiliki kekuatan untuk merasuki hati dan pikiran mahluk yang bernama manusia tersebut, yang dengan mudah menjual nama Tuhan ataupun menjual kebahagiaan untuk mencapai kenikmatan ego.
Oleh karena kekuasaan absolut lebih cenderung melahirkan permusuhan yang sering berakhir dengan penindasan hingga pembunuhan untuk abadinya kebahagian dari konsep kebohongan yang terus diturunkan dari zaman kekejaman.
Melihat fenomena tersebut, para manusia skeptis selalu sensitif menilai apa makna kebahagiaan dan membahagiakan melalui kekuasaan.
Untuk itu kelompok skeptis tersebut dengan absolutisme lebih asik nimbrung pada pusaran hiruk pikuk perebutan kekuasaan strategis yang tidak pernah berakhir sepanjang zaman, yang selalu banyak jadi penindasan.
Ketika kejatuhan dan penghempasan atas ambisi untuk menguasai manusia lainnya terjadi, harus kah kita turut berbahagia atau menangis ?
Jawabnya semua akan dikembalikan kepada makna sejauh mana kita mampu memahami kebahagiaan tersebut
tanpa keterikatan kepercayaan paham yang kita miliki masing-masing.
Tercipta dalam kehidupan, bernama “manusia dan binatang”, yang hanya di bedakan oleh “akal dan naluri” untuk melakoni kehidupan. Kedua mahluk tersebut memakai yang dikaruniakan dalam menemukan jalan kebahagiaannya.
Namun dari kedua tersebut ada perbedaan, jika dipahami lebih dalam lagi, maka akan ditemukan persamaan bila takarannya di uji dari ukuran perut yang dimiliki masing-masing.
Untuk itu sikap binatang juga perlu di hempaskan merasakan traumatis sehingga tidak semena-mena atas zona kekuasaan yang di raihnya.
Berhati-hatilah atas “rasa ingin tahu” dan “tahu-tahu” untuk dan demi kebahagiaan yang mau dicapai. Cermati secara bijaksana, bila terjadi penghempasan egoisme seorang manusia tidak berujung menyimpulkan membunuh diri.
- Nama Penulis, Susanto Siregar
- Keorganisasian, BINAR (Bhineka Indonesia Raya )
- Jabatan di Organisasi, Sekwil Kepri
- Asal, Medan
- Alamat saat ini, Kota Batam