
INTINEWS.CO.ID, NASIONAL – Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang Kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Sebuah pendidikan tradisional yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Baru-baru ini rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren, Komisi VIII DPR RI menggelar rapat kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren terebut.
Sumber dari http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25977/t/Persetujuan+RUU+Pesantren+Diwarnai+Sejumlah+Catatan, berikut ini petikannya;
Komisi VIII DPR RI menggelar rapat kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren. Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Paransong mengatakan, kendati diwarnai sejumlah catatan, Komisi VIII DPR RI dan Pemerintah sepakat pembahasan RUU Pesantren untuk dilanjutkan ke dalam pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
“Komisi VIII setuju RUU Pesantren dilanjutkan ke pengambilan keputusan tingkat II di Paripurna sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” tegas Ali Taher dalam Rapat Kerja bersama Menteri Agama, perwakilan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjelaskan, berdasarkan hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR RI dengan Panja Pemerintah secara hirarkis, RUU Pesantren terdiri dari 9 Bab dan 55 pasal. Sebelumnya, RUU ini sempat mengalami perubahan dari judul semula RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Agama menjadi RUU Pesantren.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengatakan RUU Pesantren menjadi salah satu RUU yang ditunggu-tunggu, mengingat belum terjaminnya kesetaraan pendidikan agama dengan pendidikan formal lainnya. Menurutnya, semangat RUU Pesantren dalam menjaga kebudayaan dan nilai kebangsaan perlu terus didukung oleh semua pihak.
“Kita memahami bahwa yang ada saat ini masih membahas secara general. Nantinya kita akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya termasuk turunan peraturan pemerintahannya. Jadi sebagai semangat menjaga kultur dan nilai kebangsaan, tentu akan kita dukung terus,” kata Anggota Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Meski mendapatkan dukungan dari hampir seluruh fraksi yang hadir, RUU Pesantren tetap menuai banyak catatan. Sejumlah catatan terkait dana abadi dan perubahan judul dengan meniadakan perihal pendidikan agama, yang dapat mengakomodir pendidikan agama lainnya. Anggota Komisi VIII DPR RI Tetty Pinangkaan sempat mempertanyakan hal ini, bahkan mendorong pemerintah melalui Kemenag untuk menindak lanjuti perihal pendidikan agama itu.
“Kami bersyukur menjadi bagian dari RUU Pesantren, tetapi kami mempertanyakan mengapa perihal pendidikan keagamaan dihilangkan, padahal itu bisa menjadi payung hukum yang tidak hanya untuk satu komunitas agama saja tetapi juga yang lainnya. Untuk itu, kami meminta Kemenag untuk menyiapkan payung hukum yang sama untuk pendidikan agama, agar tidak terkesan ada diskriminasi,” ungkap politisi Fraksi Hanura ini.
Terkait dana abadi, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa masih ada kendala pada Pasal 42 dan 49 yang memuat mengenai pembiayaan pesantren yang bersumber dari dana abadi, dimana hal tersebut masih belum mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.
“Mandatori RUU ini memberikan obligasi kepada pemerintah supaya kita punya dana abadi. Dana abadi menjadi bentuk keberpihakan negara terhadap pesantren. Dana abadi untuk pendidikan sudah ada, bagus juga kalau pesantren punya. Soal sumber dari dana abadi sdikembalikan lagi kepada pemerintah, apakah bersumber dari APBN, APBD atau sumber lainnya,” jelas politisi Partai Golkar itu.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin menginginkan dihapuskannya kata “dapat” dalam Pasal 42, yang kemudian disepakati menjadi “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitas kebijakan dan pendanaan”.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga sempat mengajukan penghapusan Pasal 49 karena perihal dana abadi dinilai menjadi beban bagi negara. Namun, Komisi VIII DPR RI tetap menginginkan adanya aturan yang jelas terhadap dana abadi pesantren tersebut. Rapat akhirnya menyepakati perubahan Pasal 49, dengan penambahan substansi sumber dana abadi yang berasal dari dana abadi pendidikan.
Komisi VIII DPR RI menargetkan RUU Pesantren ini rampung sebelum masa jabatan Anggota Dewan Periode 2014-2019 berakhir. Selanjutnya, RUU Pesantren akan disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR yang dijadwalkan pada 24 September mendatang
(Redaksi).